Wes piye-piye lah.. seng jenenge wong tuo kui gak bakalan
dongakke e elek marang anak e nang..”tutur Ibu kepada saya. Waktu itu, ibu
sedang berbicara hangat kepada saya di ruang tamu perihal menyorot perilaku
kakak saya yang akhir-akhir ini berubah drastis. Di mana seringkali dia pulang
larut malam tanpa izin. Dan tak jarang pula meminta uang seenaknya, dengan cara
paksa, kepada Ibu.
“Buu.. aku wek i duit, nek ora mok wek i sakmene, aku
minggat soko omah..”gertak kakak saya ketika meminta uang kepada ibu. Hal ihwal
itulah awal cerita oleh ibu kepada saya. Heningnya suasana ruang tamu
menjadikan segala uneg-uneg ibu tumpah ruah. Berbicara dari hati ke hati,
mencurhatkan apapun yang tengah dialaminya, tak terasa butiran air mata
membasahi pipi Ibu. Aku pun ikut larut iba merasakan apa yang dirasakan oleh
Ibu.
Tiap kali saya pulang ke rumah, Ibu selalu menceritakan
perkembangan kakak saya. Saya merupakan anak rantau, yang sedang menimba ilmu
di luar kota. Dan jarang sekali pulang ke rumah. Satu tahun, bisa dihitung
dengan jari kapan saya menginjak lantai rumah.
Bagaimana tanggapan ayah..”tanyaku kepada ibu. Bapakmu yo
podo wae wis nyubo ngandani mas mu bolak-balik, terkadang malah do tukaran
dewe-dewe. Seng mas mu kandanane angel, lha seng bapak watekke keras. Malah ora
kedaden. Kui lah sing ndadikke aku ora tegel. Omah kok isine wong do
ngamuk..”cerita singkat dari ibu.
Curhat ibu perihal kakak saya itu sudah menjadi hal yang
lumrah. Ketika saya sedang silaturrahim ke tempat Bu Dhe (kakak kandung bapak),
selalu saja yang ditanyakan adalah kabar kakak ku. “Tad, kepiye kabare mas mu,
wes apik urung..”tanya Bu Dhe Zulfah. Hal ini menjadi mafhum di keluarga saya
mengenai sifat dan perilaku dari kakak yang memang terbilang nakal.
Para tetangga di sekitar rumah, pun sudah sangat kenal
bagaimana karakter dan perilaku kakak saya itu. Apapun yang digunjingkan oleh
tetangga, ibu tak menghiraukannnya. Seusai sholat, gunjingan para tetangga di
tumpahkan semua kepada Tuhan. Ibu selalu memanjatkan do’a untuk anak-anaknya.
Lebih khususnya untuk kakak saya.
Ibu pernah mengatakan kepada saya, “anak iku titipane
Pengeran, wes piye-piyelah seng jenenge titipan iku kudu dirawat seng apik, sak
mampune. Nek wes diroso gak mampu, seng iso dijaluk marang Pengeran yoiku
supoyo ben diparingi apik sekabehane. Seng penting, tugas pentingku neng ndonyo
iki, piye carane nyelametke anak, nalikane nyowo dicabut, kanthi nggowo iman.”
Begitulah rasa sayang oleh seorang ibu kepada anak. Yang
tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Apapun itu, kalau untuk anaknya,
selalu di do’akan yang terbaik. Karena orang tua pasti bangga ketika melihat
anak-anaknya tumbuh berkembang melebihi dirinya. Harapan seperti itu pasti
dirasakan oleh semua orang.
Bahkan, saking nakalnya kakak saya itu, terbesit dibenak
ayah dan ibu untuk menaruhnya di pesantren supaya ada perubahan dari perilaku
yang dilakukan selama ini. Akan tetapi, permasalahannya, kakak saya mengelak
untuk dipesantrenkan. Saya pun turut mendo’akan kakak saya itu. Semoga diberi
hidayah agar ia menjadi anak yang sholeh serta taat kepada kedua orang tua.
Singkat cerita, setelah hampir satu minggu di rumah, aku
pun kembali ke perantauan lagi. Lebih tepatnya di kota Yogyakarta. Tak terasa,
curhat yang sudah ditumpahkan oleh ibu pada dua bulan yang lalu itu masih
terngiang dibenakku. Sampai sekarang, ketika tulisan ini dibuat. Dan seperti
biasa, tiap minggu ibu menanyakan kabar ku, dan aku pun menanyakan kabar
kakakku. Dari waktu ke waktu, tampakya ada rona bahagia di mata ibu. Do’anya
yang selama ini dipanjatkan, sudah mulai dijawab oleh Tuhan. Ces pleng.
Karena kakak saya yang terbilang nakal itu, sudah mulai
menjauhi dunia hitamnya. Bahkan, sekarang sudah sering shalat berjama’ah di
masjid. Mengumandangkan adzan dan menjadi imam shalat. “Alhamdulillah nang, mas
mu saiki wis apik, wes sregep shalat jama’ah neng masjid, terkadang malah dadi
imam. Haiyo, olehe aku dongakke mas mu, anak-anakku kabeh iki wes pol-polan.
Wis piye meneh, usaha dhohir wis tak lakoni, saiki ganti usaha bathin. ojo
lali, didongakke terus yo.. dungo dinungo”.
Bagaimanapun juga, jasa orang tua tidaklah bisa dibeli
dengan apapun. Semangat dan perjuangan mereka selama ini yang selalu memberikan
support kepada kita, mendampingi kita dalam mengaruhi kehidupan yang keras ini,
tak kenal kata lelah dan putus asa. Apalagi sebuah do’a. Pasti selalu
dipanjatkan olehnya.
Dari sini saya tengah mendapatkan pelajaran. Memang, aku
tidak akan bisa membalas jasa kedua orang tuaku. Walaupun demikian, aku masih
ingat dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Saw. Yang mana ada tiga amal yang
tidak akan terputus di dunia ini, salah satunya, anak shaleh yang selalu
mendo’akan kedua orang tuanya.
Tinggal diperantauan. Ibu seringkali mengirim pesan
singkat guna tanya kabar dan sekaligus panjat do’a. Sampai sekarang, pesan
singkat (SMS) yang ibu kirimkan masih aku simpan dengan rapi di dalam folder
HP. Tak lain bertujuan untuk mengingatkan ku apa tujuan merantau, jauh-jauh
keluar dari rumah.
Usaha yang bisa aku lakukan sekarang adalah; belajar,
meraih prestasi dan cita-cita untuk bisa membahagiakan kedua orang tua. Karena
menurutku, usaha itulah yang bisa aku raih untuk mendapatkan predikat
birrulwalidain, yang mana mencoba menebus perjuangan orang tua ku selama ini.
Karena saya yakin, orang tua tidaklah butuh uang yang berlimpah ruah dari
anaknya. Akan tetapi, jauh yang diinginkan adalah bagaimana anaknya bisa
sukses, bisa bermanfaat untuk banyak orang, dan mampu mengharumkan namanya.
Dan, pesan teguh yang seringkali terucap dari bapak
maupun ibu adalah, “wis, bapak-ibu iki ora ninggali koe donyo, tetapi ninggali
koe ngelmu. Mung iki seng tak tinggali marang koe kabeh. Mergo dunyo ora bakal
digowo mati. Dadio wong seng ngalim, lan biso nyiarake agomo Islam..”
Kesuksesan, baik dalam pendidikan dan karir yang saya
rasakan saat ini, memang tidak bisa lepas dari kekuatan magic do’a yang selalu
dipanjatkan oleh kedua orang tua kepada Yang Maha Kuasa. Karenanya, jangan
sampai kita menyia-nyiakan mereka berdua, apalagi sampai durhaka..
wal’iyadzubillah.
14 Maret 2014 15:20