Saya tidak tahu, apakah
orang-orang posmo masih yakin terhadap apa yang dinamakan dengan barokah atau
tabarukan (ngalap berkah). Sedangkan, setahu saya, santri dari jaman mbah-mbah
dulu, hingga sekarang, keyakinannya terhadap barokah itu sangat kuat sekali.
Hal-hal yang berbau “barokah” ini yang terkadang seringkali tidak masuk akal.
Entah kamu percaya atau tidak dengan apa yang dinamakan barokah itu.
Dulu, sewaktu di pesantren, saya
pernah mendengarkan cerita dari teman, dan teman itu mendapatkan cerita—yang
konon masih muttasil riwayatnya hingga sampai penyampai pertama.
Ceritanya adalah tentang sosok
Simbah KH. M Arwani Amin Said-Kudus, yang pernah nyantri di KH. Muhammad
Manshur Popongan-Solo. Jadi ceritanya kira-kira begini seingat saya—bila ada
salah cerita, tolong dikoreksi (bagi yang lebih tahu).
Jadi ada tiga santri yang pada
waktu itu disuruh/didawuhi oleh Mbah Yai Manshur. “Gus, le, atau cung. Iku
tulung pecerene dikuras cah, wong wes kebek.”ujar Mbah Manshur kepada ketiga
santrinya itu, yang salah satunya adalah Mbah Arwani.
Nah, jawaban santri pertama,
manggut-manggut, tetapi bilang sama Mbah Yai Manshur, “Gih mbah, kulo tak salin
rumiyen, dahar-dahar rumiyen supados kiat”. Sementara yang satunya lagi, juga
manggut-manggut, “Gih Yai, kulo ganti pakaian rumiyen nggih, niki pakaian taseh
resik, suci.”ujarnya. Namun, Mbah Yai Arwani, tanpa basa-basi, langsung saja
nyemplung, nguras peceren tersebut, dengan pakaian apa adanya, seketika itu
juga.
Singkat cerita, apa yang
dilakukan oleh Mbah Arwani ini lebih disukai oleh beliau, KH. Muhammad
Manshur-Popongan. Dan dalam jangka waktu yang singkat, Mbah Arwani dinyatakan
lulus, dan diperbolehkan untuk melakukan amalan untuk menjalani Tarekat
Naqsyabandiyah, sebagaimana yang menjadi laku suluk Mbah Manshur tersebut.
Bahkan konon, salah satu karomah dan kealiman mbah Arwani ini karena
mendapatkan barokahnya Mbah Manshur, sewaktu masih nyantri.
Cerita-cerita yang seperti ini di
pesantren sangat banyak sekali. Ini contoh kecil yang saya masih mengingatnya.
Dulu, sewaktu awal-awal mondok,
yang namanya maknani kitab gundul adalah perjuangan yang sangat berat, apalagi
sampai memahami apa isi kitab yang tak berharokat itu. Guru saya pun, tiap kali
membabarkan kitab, selalu bilang kepada para santrinya. Terutama santri-santri
baru. “wes cah, kitabe angger disemak wae yo opo sing tak woco, gak paham yo
lah, gak popo. Sing penting dirungoake, diniati tabarukan karo poro ulama’,
sopo ngerti suk-suk awakmu kui paham-paham dewe”. Begitu kurang lebih.
Hal-hal yang seperti inilah yang
menarik bagi saya di dunia pesantren. Poin pentingnya adalah; piye carane
awakmu kui gelem ngaji. Gimana caranya kamu itu mau belajar. Dan belajar itu
butuh proses, tidak kok langsung kamu menjadi pintar, ngalim. Dan barokah itu
letaknya di situ.
Ihwal itu berbeda jauh dengan
pola pendidikan di zaman posmo seperti saat ini. Era digital menuntut seseorang
untuk; sering bertanya apa yang tidak diketahuinya itu lewat Simbah Kiai
Google. Lebih instan dan cepat, tinggal klik. Tanpa ada guru, pembimbing yang
mengarahkannya. Jadi jangan kaget kalau dewasa ini kemudian muncul orang Islam
yang akun-akunan. Seakan-akan dia paham soal agama. Padahal, untuk bisa maknani
kitab, bisa ngasih harokat utawi iku-iku, butuh waktu yang panjang dan
berdarah-darah, siang malam.
Dan sekarang tinggal memilih.
Belajar kepada 'guru' yang instan kemudian tahu dalil-dalil a-z (baik al-qur’an
hadis), tanpa tahu mengapa kok bisa begitu, permasalahan dan konteks apa yang
sedang dibicarakan? apa latarbelakang dalil itu bisa muncul? atau belajar
melalui para guru, melalui para murabbi yang siap membimbing tiada kenal waktu?
Dari situlah kualitas seseorang ditentukan.
Batu Raden-Purwokerto, 31-10-2015