Pengantar penulis

Menulis itu berat, biar aku saja yang melakukannya. Kalian tinggal baca aja :)


Saya tidak tahu, apakah orang-orang posmo masih yakin terhadap apa yang dinamakan dengan barokah atau tabarukan (ngalap berkah). Sedangkan, setahu saya, santri dari jaman mbah-mbah dulu, hingga sekarang, keyakinannya terhadap barokah itu sangat kuat sekali. Hal-hal yang berbau “barokah” ini yang terkadang seringkali tidak masuk akal. Entah kamu percaya atau tidak dengan apa yang dinamakan barokah itu.

Dulu, sewaktu di pesantren, saya pernah mendengarkan cerita dari teman, dan teman itu mendapatkan cerita—yang konon masih muttasil riwayatnya hingga sampai penyampai pertama.

Ceritanya adalah tentang sosok Simbah KH. M Arwani Amin Said-Kudus, yang pernah nyantri di KH. Muhammad Manshur Popongan-Solo. Jadi ceritanya kira-kira begini seingat saya—bila ada salah cerita, tolong dikoreksi (bagi yang lebih tahu).

Jadi ada tiga santri yang pada waktu itu disuruh/didawuhi oleh Mbah Yai Manshur. “Gus, le, atau cung. Iku tulung pecerene dikuras cah, wong wes kebek.”ujar Mbah Manshur kepada ketiga santrinya itu, yang salah satunya adalah Mbah Arwani.

Nah, jawaban santri pertama, manggut-manggut, tetapi bilang sama Mbah Yai Manshur, “Gih mbah, kulo tak salin rumiyen, dahar-dahar rumiyen supados kiat”. Sementara yang satunya lagi, juga manggut-manggut, “Gih Yai, kulo ganti pakaian rumiyen nggih, niki pakaian taseh resik, suci.”ujarnya. Namun, Mbah Yai Arwani, tanpa basa-basi, langsung saja nyemplung, nguras peceren tersebut, dengan pakaian apa adanya, seketika itu juga.

Singkat cerita, apa yang dilakukan oleh Mbah Arwani ini lebih disukai oleh beliau, KH. Muhammad Manshur-Popongan. Dan dalam jangka waktu yang singkat, Mbah Arwani dinyatakan lulus, dan diperbolehkan untuk melakukan amalan untuk menjalani Tarekat Naqsyabandiyah, sebagaimana yang menjadi laku suluk Mbah Manshur tersebut. Bahkan konon, salah satu karomah dan kealiman mbah Arwani ini karena mendapatkan barokahnya Mbah Manshur, sewaktu masih nyantri.

Cerita-cerita yang seperti ini di pesantren sangat banyak sekali. Ini contoh kecil yang saya masih mengingatnya.

Dulu, sewaktu awal-awal mondok, yang namanya maknani kitab gundul adalah perjuangan yang sangat berat, apalagi sampai memahami apa isi kitab yang tak berharokat itu. Guru saya pun, tiap kali membabarkan kitab, selalu bilang kepada para santrinya. Terutama santri-santri baru. “wes cah, kitabe angger disemak wae yo opo sing tak woco, gak paham yo lah, gak popo. Sing penting dirungoake, diniati tabarukan karo poro ulama’, sopo ngerti suk-suk awakmu kui paham-paham dewe”. Begitu kurang lebih.

Hal-hal yang seperti inilah yang menarik bagi saya di dunia pesantren. Poin pentingnya adalah; piye carane awakmu kui gelem ngaji. Gimana caranya kamu itu mau belajar. Dan belajar itu butuh proses, tidak kok langsung kamu menjadi pintar, ngalim. Dan barokah itu letaknya di situ.

Ihwal itu berbeda jauh dengan pola pendidikan di zaman posmo seperti saat ini. Era digital menuntut seseorang untuk; sering bertanya apa yang tidak diketahuinya itu lewat Simbah Kiai Google. Lebih instan dan cepat, tinggal klik. Tanpa ada guru, pembimbing yang mengarahkannya. Jadi jangan kaget kalau dewasa ini kemudian muncul orang Islam yang akun-akunan. Seakan-akan dia paham soal agama. Padahal, untuk bisa maknani kitab, bisa ngasih harokat utawi iku-iku, butuh waktu yang panjang dan berdarah-darah, siang malam.

Dan sekarang tinggal memilih. Belajar kepada 'guru' yang instan kemudian tahu dalil-dalil a-z (baik al-qur’an hadis), tanpa tahu mengapa kok bisa begitu, permasalahan dan konteks apa yang sedang dibicarakan? apa latarbelakang dalil itu bisa muncul? atau belajar melalui para guru, melalui para murabbi yang siap membimbing tiada kenal waktu? Dari situlah kualitas seseorang ditentukan.

Batu Raden-Purwokerto, 31-10-2015






Leave a Reply