Kurang lebih ada tiga alasan seseorang mau nyantri, hidup
di pesantren. Pertama, bisa jadi di rumah dia nakal, terus oleh orang tuanya
ditaruh di pesantren. Agar kelak menjadi anak yang baik. Kedua, karena dia
memang benar-benar ingin mendalami ilmu agama secara lebih--ya, mungkin dia anaknya
kiai/tokoh masyarakat di desanya--sehingga diharapkan nanti bisa menjadi
penerus sang ayah. Ketiga, bisa jadi dia ikut-ikutan, entah karena ada
tetangganya yang mondok, atau kakak/saudara sepupunya yang sudah duluan
bertempat tinggal di pesantren. Namun yang jelas, tujuan dari ketiga alasan
tersebut mempunyai muara yang sama; mencari ilmu.
Dulu, oleh guru saya di sekolah, beliau berpesan; seingat
saya sih kalau tidak salah pas ngaji kitab Ta'limul Muta'allim. Jadi pesan
beliau begini: "anak-anakku kabeh, nalikane sira lungo belajar, luru ilmu,
ojo lali niat ditoto, sing pertama yaiku, supaya entuk ridhone Gusti Allah,
sing kaping loro yaiku niat ngurip-ngurip agama Islam, terus sing kaping telune
diniati ngilangake kebodohan." Hal-hal yang seperti ini, di sekolah
madrasah manapun, saya kira semua menerapkannya. Saya tidak tahu bagaimana di
sekolah-sekolah umum, seperti SMP.SMA, dll.
Sebelum dan sesudah belajar pun ada ritual do'anya.
"Ya Fattahhu Yaa 'Alim-Iftah Lanaa Baaba Fadhlikal 'Adzim." (doa
pembuka). "Subhanarabbika Rabbil 'Izzati" (do'a penutup). Dan hal-hal
seperti ini hampir tidak pernah saya temukan sewaktu di bangku kuliah.
Terkadang, pas pertama kali masuk di dunia kampus, saya merindukan hal-hal yang
begitu; doa. Kelihatannya sih sederhana, sepele, tapi penting.
Di kalangan pesantren, do'a memang menjadi andalan,
senjata utama. Tidak hanya seusai mengerjakan shalat an sich, tetapi di dalam
segala hal. Mulai bangun tidur, sampai tidur lagi, diajarkan do'a. Dalam
analisis Toshihiko Izutshu--seorang orientalis asal Jepang--itulah yang
dinamakan relasi Tuhan dan manusia dalam bentuk komunikasi verbal. Yakni dari
manusia ke tuhan. Lebih lanjut bisa baca bukunya; God And Man In The Koran.
Dari do'a ini kemudian memunculkan hal-hal yang
irasional. Contohnya, sewaktu saya nyantren dulu, para santri sebelum ujian
(terutama pas UAN), biasanya manakiban dulu, ziarah, minta do'a ke para
kiai/sesepuh nanti dikasih air, lalu suruh minum, dan, terpenting adalah, dulu
istilahnya "ngisiake polpen/pencil". Jadi, polpen/pencilnya
dikumpulin jadi satu, terus diisikan ke kiai yang ampuh. Walaupun memang
terkadang menjadi sindiran oleh sebagian teman-teman saya, "terus polpene
iso mbunderi dewe ngono?". hehehe. jaman semono, Bahkan, yang lebih mistis
lagi adalah di ruangan ujian itu disebar tanah dari kuburan, sambil diwirid,
supaya bapak penjaga ujian ngantuk. Hayo, kae kelakoane sopo ngono
iku?heuheuheu
Do'a, mantra, wirid, ataupun lainnya yang berupa
pengharapan dari hamba ke Tuhan merupakan sugesti. Anda yang tidak bertuhan
sekalipun (katakanlah atheis), pada hakikatnya akan mengakui keberadaan-Nya,
mengakui ada kekuatan besar diluar diri kita, dengan fakta bahwa selalu ada
pengharapan-pengharapan, selalu ada do'a-do'a di dalam hati kecil kita. Dan itu
tidak bisa dipungkiri. Bahkan, Tuhan sendiri pun berdo'a kepada hambanya, yakni
dengan bersholawat kepada Nabi Saw.
Walaupun demikian, tidak semua do'a, harapan, keinginan
yang kita minta selalu diijabahi dan dikabulkan oleh-Nya. Karena itu, tidak
semua do'a itu baik untuk kita, dan tidak semua permintaan itu menjadikan diri
kita lebih baik (seperti gambaran di film drama religi yang diperankan oleh
Aming; "Do'a yang Mengancam").
Bukankah telah banyak diantara kita yang tidak meminta
tetapi diberi, dan yang terus-terusan meminta tidak kunjung ditepati? tanya
kenapa?
Jogja, 6-11-2015