Menjadi jadwal wajib di pesantren saya, bila habis
jama'ah shalat subuh adalah ngaji al-qur'an, sorogan. Bin nadhor. Ya, ada juga
yang setoran hafalan, bil ghaib. Soal urusan makhraj bacaan al-qur'an, para
guru yang mengajar sangat ketat sekali. Secara, para asatidz-nya adalah
langsung dari yanbu' pusat. Ya, pesantren saya masih satu naungan dengan
yayasan Arwaniyyah.
Dalam suatu wasiatnya, KH. M. Arwani Amin Said--atau yang
akrab disapa Mbah Arwani, berpesan begini: "Aku wekas karo sliramu: wiwit
mongso iki sliramu saben-saben deres supoyo tartil. Mergo senejan mung setitik
nanging tartil iku luwih utama lan manfaat tinimbang olih akeh nanging ora
tartil." Masih panjang sebenarnya wasiat mbah Arwani yang tertulis dalam
kartu ngaji itu. Yang intinya, ketika kita ngaji al-Qur'an, mbah Arwani
berpesan supaya para santri-santrinya itu membaca al-Qur'an dengan tartil,
walaupun dapat sedikit. Karena begini, kalau orang yang sudah terbiasa tartil,
terus suatu saat nanti dia ngaji cepat, itu tetap enak didengarnya, jelas.
Berbeda dengan yang terbiasa cepat kemudian di suruh pelan-pelan.
Saya sendiri pernah nyemak orang khataman, dan disitu
saya benar-benar merasakan; mana orang terbiasa ngaji secara cepat dan mana yang
terbiasa ngaji santai, tartil. Dan, yang terbiasa cepat itu bacaan al-Qur'annya
nggak karuan, nggak jelas. Jadi dalam hati saya rasan-rasan, "iki ngaji
tah nggremeng cah". Di sinilah yang dimaksud Mbah Arwani, itu berbahaya.
Jadi wajar, kalau saya dulu pas ngaji pertama kali di pondok, membaca
al-fatihah saja bisa berbulan-bulan. Memang sih, jengkel banget, sudah antri
lama, tetapi nggak dinaik-naikkan sama guru saya. Tetapi, sekarang saya baru
bisa merasakan atsarnya. Terimakasih pak guru.
Yang menarik dari wasiatnya Mbah Arwani adalah,
"sitiklah nanging tartil". Sedikitlah tetapi berkualitas. Sitiklah
nanging barokah. Sedikit tak masalah yang penting barokah. Wasiat itu seperti
pepatah Jawa, alon-alon waton kelakon. Pelan-pelan yang penting sampai. Percuma
dapat banyak tetapi tidak bisa manfaati, tetapi malah menjadi laknat. Dan
wasiat itu sangat dipegang sungguh-sungguh oleh para santri-santri beliau
hingga sekarang.
Saya ada cerita menarik. Kemarin, sewaktu Muktamar NU di
Jombang, kebetulan saya hadir di sana. Sewaktu berkunjung di pesantren Tambak
Beras, saya bertemu kawan saya, kebetulan dia jaga stand Mubarokatan Thoyyibah.
Di situlah gayeng, ngobrol panjang hingga sampai dia curhat soal hafalan
Qur'an-nya yang belum selesai-selesai.
Dia bercerita, pernah suatu ketika tetangganya itu minta
dia untuk membaca al-Qur'an, khataman. Terjadilah dialog. "Mas, kulo
nyuwun tulung sampeyan mangke sing ngaos ten griyo kulo"pinta tetangganya.
Terus dia jawab, "nyuwun ngapunten pak, niki qur'an kulo dereng rampung,
mungkin mas niku mawon-- dengan menunjuk seseorang--sing al-qur'ane sampun
rampung."jawab teman saya. "wah mboten mas, piyambak e nek ngaji niku
mboten enak dirungoake, kecepeten. Kulo mboten nggolek sing cepet lan akeh
pikantuk juz-e, mas. Sak tutuk-e mawon, penting sae waosane."sahut
tetangga teman saya tadi.
Dari sini saya mengambil kesimpulan, dimanapun orang
berkualitas, walaupun punya skill yang minim, tetapi dia fokus, pasti akan
dicari orang.
Terlepas dari itu, saya sendiri salut dengan para
penghafal al-Qur'an, mereka itu begitu sabar, telaten dalam merawat bacaan
al-Qur'an-nya. Siang menjadi malam, malam menjadi siang untuk tadarus, demi
merawat hafalannya. Itulah alasan kenapa saya pengen banget punya calon istri
yang hafal al-Qur'an, bukan karena hafalannya, tetapi, cara dia merawatnya.
Ciye. Iya, seperti kamu.. iya kamu.
Jogja, 4-11-2015