Pengantar penulis

Menulis itu berat, biar aku saja yang melakukannya. Kalian tinggal baca aja :)

Menjadi jadwal wajib di pesantren saya, bila habis jama'ah shalat subuh adalah ngaji al-qur'an, sorogan. Bin nadhor. Ya, ada juga yang setoran hafalan, bil ghaib. Soal urusan makhraj bacaan al-qur'an, para guru yang mengajar sangat ketat sekali. Secara, para asatidz-nya adalah langsung dari yanbu' pusat. Ya, pesantren saya masih satu naungan dengan yayasan Arwaniyyah.

Dalam suatu wasiatnya, KH. M. Arwani Amin Said--atau yang akrab disapa Mbah Arwani, berpesan begini: "Aku wekas karo sliramu: wiwit mongso iki sliramu saben-saben deres supoyo tartil. Mergo senejan mung setitik nanging tartil iku luwih utama lan manfaat tinimbang olih akeh nanging ora tartil." Masih panjang sebenarnya wasiat mbah Arwani yang tertulis dalam kartu ngaji itu. Yang intinya, ketika kita ngaji al-Qur'an, mbah Arwani berpesan supaya para santri-santrinya itu membaca al-Qur'an dengan tartil, walaupun dapat sedikit. Karena begini, kalau orang yang sudah terbiasa tartil, terus suatu saat nanti dia ngaji cepat, itu tetap enak didengarnya, jelas. Berbeda dengan yang terbiasa cepat kemudian di suruh pelan-pelan.

Saya sendiri pernah nyemak orang khataman, dan disitu saya benar-benar merasakan; mana orang terbiasa ngaji secara cepat dan mana yang terbiasa ngaji santai, tartil. Dan, yang terbiasa cepat itu bacaan al-Qur'annya nggak karuan, nggak jelas. Jadi dalam hati saya rasan-rasan, "iki ngaji tah nggremeng cah". Di sinilah yang dimaksud Mbah Arwani, itu berbahaya. Jadi wajar, kalau saya dulu pas ngaji pertama kali di pondok, membaca al-fatihah saja bisa berbulan-bulan. Memang sih, jengkel banget, sudah antri lama, tetapi nggak dinaik-naikkan sama guru saya. Tetapi, sekarang saya baru bisa merasakan atsarnya. Terimakasih pak guru.

Yang menarik dari wasiatnya Mbah Arwani adalah, "sitiklah nanging tartil". Sedikitlah tetapi berkualitas. Sitiklah nanging barokah. Sedikit tak masalah yang penting barokah. Wasiat itu seperti pepatah Jawa, alon-alon waton kelakon. Pelan-pelan yang penting sampai. Percuma dapat banyak tetapi tidak bisa manfaati, tetapi malah menjadi laknat. Dan wasiat itu sangat dipegang sungguh-sungguh oleh para santri-santri beliau hingga sekarang.

Saya ada cerita menarik. Kemarin, sewaktu Muktamar NU di Jombang, kebetulan saya hadir di sana. Sewaktu berkunjung di pesantren Tambak Beras, saya bertemu kawan saya, kebetulan dia jaga stand Mubarokatan Thoyyibah. Di situlah gayeng, ngobrol panjang hingga sampai dia curhat soal hafalan Qur'an-nya yang belum selesai-selesai.

Dia bercerita, pernah suatu ketika tetangganya itu minta dia untuk membaca al-Qur'an, khataman. Terjadilah dialog. "Mas, kulo nyuwun tulung sampeyan mangke sing ngaos ten griyo kulo"pinta tetangganya. Terus dia jawab, "nyuwun ngapunten pak, niki qur'an kulo dereng rampung, mungkin mas niku mawon-- dengan menunjuk seseorang--sing al-qur'ane sampun rampung."jawab teman saya. "wah mboten mas, piyambak e nek ngaji niku mboten enak dirungoake, kecepeten. Kulo mboten nggolek sing cepet lan akeh pikantuk juz-e, mas. Sak tutuk-e mawon, penting sae waosane."sahut tetangga teman saya tadi.

Dari sini saya mengambil kesimpulan, dimanapun orang berkualitas, walaupun punya skill yang minim, tetapi dia fokus, pasti akan dicari orang.

Terlepas dari itu, saya sendiri salut dengan para penghafal al-Qur'an, mereka itu begitu sabar, telaten dalam merawat bacaan al-Qur'an-nya. Siang menjadi malam, malam menjadi siang untuk tadarus, demi merawat hafalannya. Itulah alasan kenapa saya pengen banget punya calon istri yang hafal al-Qur'an, bukan karena hafalannya, tetapi, cara dia merawatnya. Ciye. Iya, seperti kamu.. iya kamu.


Jogja, 4-11-2015



Leave a Reply