Bukan hanya sekedar penutup aurat. Tetapi sarung adalah
wujud identitas sosial di kalangan pesantren. Jadi jangan heran apabila ada
santri ketika shalat, walaupun ia sudah menggunakan celana (dan auratnya sudah
tertutup), tetapi ia juga memakai sarung. Celanaan tapi sarungan. Terlihat
seperti balapan motor GP. Kelihatan aneh? memang.
Jangan dikira, memakai sarung juga ada tutorialnya. Kalau
dia santri baru, biasanya nyarungnya, cara melipatnya, dari samping ke tengah.
Dan itu mudah mbrojol. Sedangkan santri yang veteran-veteran itu; sudah lihai,
ketika nyarung, dilipatnya dari tengah; dari dua arah, kanan-kiri. Jadi kuat.
Dilorot pun tak bisa. Para santri juga pede, ketika pergi ke mall pakai sarung,
pakai peci, dan sandal jepit. Sarung dan peci bukan hanya sekedar dipakai
ketika mau shalat atau ada acara keagamaan. Tetapi sudah membudaya.
Saya tidak tahu, semenjak kapan identitas berupa
"sarungan" itu membudaya di kalangan pesantren. Apakah ketika pertama
kali adanya pondok/pesantren, budaya bersarung itu sudah ada? Atau ketika
santernya perlawanan terhadap kolonial. Yang mana pada waktu itu, dengan sebuah
hadis Nabi Saw. "Man Tasyabbaha Biqoumin Wahuwa Minhum". Barang siapa
yang menyerupai suatu kaum--para kolonial pada waktu itu pakai celana dan
dasi--bagi ia yang mengikuti, berarti termasuk bagian dari kelompok mereka,
kolonial. Penjajah. Sehingga gaung sarungan menjadi santer pada waktu itu? Saya
tidak tahu. Bisa jadi, iya, bisa jadi tidak.
Yang jelas, sarung adalah sebuah pakaian yang simpel,
nyaman, dan menjadi alasan utama mengapa para kiai itu anaknya
banyak?heuheuheu. Bahkan ada kitab yang berjudul "Fathul Izar", yang
artinya 'Buka Sarung'. Itu kitab kamasutranya para santri--sebelas dua belas
sama kitab Qurratul 'Uyun. Saya alhamdulillah sudah pernah ngaji Fathul Izar,
dan khatam, dapat sanadnya. Tetapi sayang, belum dipraktikkan saja.heuheu
Sarung juga memiliki kelasnya masing-masing. Di
pesantren-pesantren pantura, wilayah pesisir, jangan heran apabila para kiai
sarungnya rata-rata bermerk-maliter. Minimal Kecubung atau DPR. Jarang sekali
saya melihat kiai yang memakai sarung, bermerk Gajah Duduk, Mangga, atau Atlas.
Apalagi yang kain lunyu itu, atau hadiah dari Marimas.
Tetapi, di daerah seperti Jogja ini, para Kiai kebanyakan
malah tidak tahu merk sarung yang berkelas. Mungkin beda wilayah, beda tingkat
kemaliterannya. Itu berdasarkan pengakuan para pelaku bisnis sarung di sini.
Namun, dari sarungan yang khas pesantren ini, yang saya
tertarik adalah; bila memang, budaya sarungan pada waktu itu bagian dari wujud
perlawanan terhadap kolonial, sebagai ekspresi politik untuk mengusir penjajah,
saya kira sangat keren. Bahkan konon, disekolah saya dulu, para kiainya keukeh,
melarang santrinya ikut Ujian Nasional, walaupun pada akhirnya diperbolehkan.
Dan juga mengapa hari liburnya itu bukan minggu, tetapi jum'at. Itu adalah
salah satu alasan wujud bagian perlawanan itu yang masih bisa dirasakan hingga
sekarang.
Penjajah memang sudah terusir 70 tahun silam, tetapi,
mereka kini menggunakan topeng dan meminjam tangan anak negeri, yang terus
menggarong kekayaan-keyaaan alam bumi pertiwi. Minyak, Batu Bara, Pasir Besi,
Tambang, Semen, Konflik Agraria dimana-mana, Siapa yang Menguasai? Siapa
pemilik modal yang berada dibalik tragedi akhir-akhir ini?
Sudah saatnya, kaum sarungan unjuk gigi ketika melihat
banyak penjajahan di atas tanah sendiri. Sejarah sudah merekamnya. Dahulu,
resolusi dan revolusi terlahir dari bilik penjara suci itu. Berani?
Timoho-Jogja, 02-11-2015