Pengantar penulis

Menulis itu berat, biar aku saja yang melakukannya. Kalian tinggal baca aja :)

Bukan hanya sekedar penutup aurat. Tetapi sarung adalah wujud identitas sosial di kalangan pesantren. Jadi jangan heran apabila ada santri ketika shalat, walaupun ia sudah menggunakan celana (dan auratnya sudah tertutup), tetapi ia juga memakai sarung. Celanaan tapi sarungan. Terlihat seperti balapan motor GP. Kelihatan aneh? memang.

Jangan dikira, memakai sarung juga ada tutorialnya. Kalau dia santri baru, biasanya nyarungnya, cara melipatnya, dari samping ke tengah. Dan itu mudah mbrojol. Sedangkan santri yang veteran-veteran itu; sudah lihai, ketika nyarung, dilipatnya dari tengah; dari dua arah, kanan-kiri. Jadi kuat. Dilorot pun tak bisa. Para santri juga pede, ketika pergi ke mall pakai sarung, pakai peci, dan sandal jepit. Sarung dan peci bukan hanya sekedar dipakai ketika mau shalat atau ada acara keagamaan. Tetapi sudah membudaya.

Saya tidak tahu, semenjak kapan identitas berupa "sarungan" itu membudaya di kalangan pesantren. Apakah ketika pertama kali adanya pondok/pesantren, budaya bersarung itu sudah ada? Atau ketika santernya perlawanan terhadap kolonial. Yang mana pada waktu itu, dengan sebuah hadis Nabi Saw. "Man Tasyabbaha Biqoumin Wahuwa Minhum". Barang siapa yang menyerupai suatu kaum--para kolonial pada waktu itu pakai celana dan dasi--bagi ia yang mengikuti, berarti termasuk bagian dari kelompok mereka, kolonial. Penjajah. Sehingga gaung sarungan menjadi santer pada waktu itu? Saya tidak tahu. Bisa jadi, iya, bisa jadi tidak.

Yang jelas, sarung adalah sebuah pakaian yang simpel, nyaman, dan menjadi alasan utama mengapa para kiai itu anaknya banyak?heuheuheu. Bahkan ada kitab yang berjudul "Fathul Izar", yang artinya 'Buka Sarung'. Itu kitab kamasutranya para santri--sebelas dua belas sama kitab Qurratul 'Uyun. Saya alhamdulillah sudah pernah ngaji Fathul Izar, dan khatam, dapat sanadnya. Tetapi sayang, belum dipraktikkan saja.heuheu

Sarung juga memiliki kelasnya masing-masing. Di pesantren-pesantren pantura, wilayah pesisir, jangan heran apabila para kiai sarungnya rata-rata bermerk-maliter. Minimal Kecubung atau DPR. Jarang sekali saya melihat kiai yang memakai sarung, bermerk Gajah Duduk, Mangga, atau Atlas. Apalagi yang kain lunyu itu, atau hadiah dari Marimas.

Tetapi, di daerah seperti Jogja ini, para Kiai kebanyakan malah tidak tahu merk sarung yang berkelas. Mungkin beda wilayah, beda tingkat kemaliterannya. Itu berdasarkan pengakuan para pelaku bisnis sarung di sini.

Namun, dari sarungan yang khas pesantren ini, yang saya tertarik adalah; bila memang, budaya sarungan pada waktu itu bagian dari wujud perlawanan terhadap kolonial, sebagai ekspresi politik untuk mengusir penjajah, saya kira sangat keren. Bahkan konon, disekolah saya dulu, para kiainya keukeh, melarang santrinya ikut Ujian Nasional, walaupun pada akhirnya diperbolehkan. Dan juga mengapa hari liburnya itu bukan minggu, tetapi jum'at. Itu adalah salah satu alasan wujud bagian perlawanan itu yang masih bisa dirasakan hingga sekarang.

Penjajah memang sudah terusir 70 tahun silam, tetapi, mereka kini menggunakan topeng dan meminjam tangan anak negeri, yang terus menggarong kekayaan-keyaaan alam bumi pertiwi. Minyak, Batu Bara, Pasir Besi, Tambang, Semen, Konflik Agraria dimana-mana, Siapa yang Menguasai? Siapa pemilik modal yang berada dibalik tragedi akhir-akhir ini?

Sudah saatnya, kaum sarungan unjuk gigi ketika melihat banyak penjajahan di atas tanah sendiri. Sejarah sudah merekamnya. Dahulu, resolusi dan revolusi terlahir dari bilik penjara suci itu. Berani?


Timoho-Jogja, 02-11-2015



Leave a Reply