Menjadi santri, menurutku adalah sebuah pilihan. Dan,
orang yang memilih mengikuti suluk-jalur menjadi santri merupakan orang-orang
pilihan Tuhan. Saya bangga sekaligus bersyukur dengan itu. Makanya, kalau anda
mempunyai adik, atau suatu saat nanti punya anak, silahkan dimasukkan ke
pesantren. Biar belajar hidup mandiri, sederhana, laku tirakat. Walaupun
memang, kata Gus Mus; "Santri bukan yang mondok saja, tapi Siapapun yang
berakhlak seperti santri dialah Santri".
Saya mengamini pernyataan Gus Mus tersebut, tetapi,
kesantrian orang yang seperti itu kurang kaffah--kurang sempurna menurut saya.
Karena ia tidak merasakan nuansa di pesantren. Nuansa gudiken, kukur-kukur
sambil tafakkur, apalagi yang gatal itu dibagian itunya. Kalau belum lecet
nggak bakalan berhenti..hehehe. Nuansa dapat hukuman karena tidak hafal
alfiyyah--nazhaman 1002 bait mengenai nahwu-shorof (grammer arab), dan konon,
yang hafal nazhaman ini, istrinya bakal cantik kayak bidadari. Anda hafal
alfiyyah? setidaknya, kejombloanmu ditemani dia..hehe
Tidak merasakan nuansa home sick dan tiba-tiba nangis
sendiri di kamar mandi. Nuansa nunggu kiriman dari orangtua, karena sudah
ditagih sama debtcolector, nuansa tidak pakek daleman (kolor), cukup pakai
sarung saja (ISIS), nuansa nguras peceren (air comberan) karena habis melanggar
aturan pondok, nuansa rebutan air habis seduhan kyai, tabarukan, dan nuansa
sandal dighosob dan akhirnya enggak kembali,
Bahkan, di pesantren saya, dipintu kamar ditulis:
DIlarang Sonjo! Sonjo yang dimaksud disini adalah bermain di kamar tetangga
sebelah, lama-lama. Tanya kenapa? karena pada waktu itu banyak barang yang
hilang, untuk menetralisir, tidak boleh berkunjung ke kamar sebelah, karena
bisa menjadi kecurigaan dan hal-hal yang tidak diinginkan. kalau di pesantren saya
memang, apabila tertangkap mengambil hak orang lain (sariqah/maling), maka
dikeluarkan. Tanpa ampun. Sebab itu, saya dulu sangat takut apabila kena cobaan
"maling". Sebab telah didoktrin, apabila keluar dari pondok itu su'ul
khatimah (keluar sebab buruk) maka ada saja cobaan hidupnya. Wallahhua'lam.
Saya pun kemudian membayangkan, bagaimana jika negara
ini, pejabatnya itu dari para santri. Setidaknya dia tahu apa makna
"kualat", jika hak orang lain itu diambil. Jika hak rakyat itu
digarong.
***
Yah, itu hanya secuil kisah dikeindahan hidup di
pesantren. Kemarin, dua hari yang lalu, saya menceritakan kelucuan dunia
pesantren, karena nglucu adalah bakat anak pesantren. Kalau ada orang yang
gampang marah, sedikit-sedikit ngamukan, berarti dia belum pernah merasakan
kehidupan menjadi santri. Kalaupun dia sudah pernah nyantri, tetapi masih saja
ngamukan, berarti kesantriannya belum lulus. Masih remidi. Suruh nyantri lagi,
sampai dia bisa menerima perbedaan dan pendapat orang lain.
Pesantren memang bukan segalanya, tetapi, segalanya bisa
kamu dapatkan dari pesantren.
Jogja, 28-10-2015