Setelah masak bakso dan oseng-oseng daging cincang
seharian; saya capek, tidur pulas. Hampir lupa, meneruskan cerita di pesantren
kemarin, karena masih ada sambungannya.
Dunia pesantren, selain mengajarkan ilmu, juga
mengenalkan pada: "mangan enak, turu kepenak". Gimana coba kalau
enggak makan enak? apapun jajanan yang ada--baik dari sambangan orang tua
santri atau ketika santri habis balik dari rumah--pasti dilahap habis. Lha wong
air kulah (baca: jeding) aja di minum, apalagi jajanan. Hehehe. Tapi faktanya
alhamdulillah ya sehat-sehat saja, minum air mentah. Sampai sekarang pun
teman-teman saya banyak yang hidup. Itu dulu minumnya air mentah loh. Jangan
sangka. hehe
Nah, di pesantren ada sebuah qa'idah yang menarik:
"Man Ja'a Bila IN Fahuwa Mardudun". Utawi kang aran makna 'IN' tegese
inggih punika 'inuk-inuk'. Sebagian matan lain mengatakan "Man Ja'a Bila
Jajanin Fahuwa Raddun". Kaidah itu pasti berlaku di seluruh pondok
pesantren manapun. Barang siapa yang habis pulang dari rumah, kalau tidak bawa
jajan, maka, chek out-lah dari pondok!
Kaidah ini sangat keras sekali diterapakan. Tapi ya nggak
keras-keras amat sih.hehe. Biasanya ini berlaku pada santri baru, yang santri
senior, kadang nggak bawa, gengsi. Tapi hal itu tidak berlaku pada saya.
Alhamdulillah, ketika habis pulang dari rumah, saya usahain bawa itu jajan.
Walaupun roti gudal (baca: biskuit roma), itu selemah-lemahnya iman.
Ada cerita menarik ihwal jajan ini. Di kamar saya, ketika
ada santri yang disambangi, ayah-ibu-neneknya, atau saudara yang lain, tidak
jarang ikut masuk kamar. Nah, dikeluarkanlah jajanan itu. "Monggo kang,
disambi."tawar wali santri. (hampir seluruh pandangan mata santri tertuju
pada tas kresek, dan memang, rata-rata rasa jaimnya kumat kalau masih ada wali
santri). "Monggo kang,"ujar wali santri lagi. Masih aja santri pada
manggut-manggut, malu-malu kucing.(Kalian tahu sendirilah body language santri
kayak gimana).
Nah, setelah wali santri dan saudaranya keluar dari
kamar--tiga langkah dari daun pintu kamar--kemudian, terjadilah tragedi besar.
"Gruduk-gruduk-gruduk". Tangan saling rebutan. Yang asalnya makanan
itu utuh berbentuk makanan, kemudian berhamburan, tercecer di lantai. Hahaha.
Asem, jadi kelingan zaman semono.
Cerita soal makanan yang lain, apabila ada salah satu
santri yang menyimpan jajanan itu berhari-hari di lemari, bisa dipastikan, dia
akan dikucilkan oleh kawan-kawannya. Bahkan, kalau ada santri yang agak ndableg,
pasti lemarinya dijebol. Hahaha. Ya, kehidupan pesantren memang indah yang
disininya.
***
Di pondok saya, Ma'had al-Ulum asy-Syar'iyyah Yanbu'ul
Qur'an, sudah menjadi langganan dimintai tolong oleh warga masyarakat ngadla'i
shalat--apabila ada saudaranya yang meninggal dunia, tetapi mempunyai qadla'an
shalat menahun. Sehingga, bapak, KH. M. Arifin Fanani, melalui para santri,
sehabis shalat fardlu, kemudian shalat lagi, diniatkan ngadla'i sholat yang
ditinggalkan almarhum selama hidup. Biasanya karena sakit, bukan karena memang
mbangkang tidak mau shalat.
Maka, keluarga yang paham tentang masalah ibadah, pasti
sadar diri. Walaupun sebagian ulama' fikih ada yang tidak mewajibkan. Tapi,
alasan kiai saya; "Apakah tega membiarkan saudaranya yang punya hutang
soal sholat?". Ya, guru saya ini memang dikenal sebagai ulama' yang
mempunyai sifat hati-hati masalah ibadah. Beliau merujuk Mbah Turaichan
Adjhuri. Seperti ayah saya, mengidolakan Mbah Tur. Apabila 'A' ya bilang 'A'.
Bukan keras, tapi keukeh dalam pendiriannya. Soal hukum, bilang haram, ya
haram.
Kembali ke cerita qodlo'an tadi. Nah, ketika ngadla'i
shalat itu rampung--terkadang seminggu atau lebih--tergantung dari jumlah
bilangan shalat yang ditinggalkan; selama setahun, dua tahun, atau tiga tahun?
dan sudah menjadi tradisi Jawa, kalau ada orang yang sudah minta tolong, masak
tidak balas budi? Biasanya, para santri ini mendapatkan jajan berupa sate dan
es susu buah dari masyarakat yang sudah dibantu tadi. Inilah momentum yang
ditunggu-tunggu. Terutama bagi dia yang tidak pernah makan sate.hehehe. Waduh,
tamak nih.. smile emotikon
Begitu juga ketika dia tidur. Tidurnya santri siapa
bilang tidak kepenak (nyenyak). Walaupun beralaskan lantai. walaupun
berbantalkan tangan. Walaupun sambil maknani kitab. Walaupun sambil menunggu
antrian di kamar mandi. Walaupun ketika musyawarah sambil tekluk-tekluk;
tetaplah nikmat. Karena kecapean, seharian mengikuti kegiatan pondok, itu belum
lagi yang di sekolah.
Dulu ketika saya jadi pengurus, kebetulan dapat jatah
ngebangunin santri di waktu subuh. Masih aja terdapat santri yang ndagel.
Ketika dibangunin, dia ambil sarung, bukan langsung ke kamar mandi, tapi
sembari kukur-kukur dulu (yang merasa santri, pasti nyengir-nyengir). Setelah
saya atau pengurus lainnya keluar dari kamar, kemudian dia tidur lagi. Ada juga
yang sudah bangun, gayanya sih ke kamar mandi. tetapi kenyataannya tidak, dia
pindah tidur, di ruang dapur, nyenyak di atas beras.
Kalau sudah begitu, jatah saya untuk nyateti (mencatat).
Karena setiap tidak mengikuti shalat jama'ah atau telat jama'ah, sekali, kena
denda seribu. Wah, tidak terasa sudah maghrib. Jama'ah dulu. Qomat-qomat. Awas
ada keamanan berkeliaran!
Jogja, 27-10-2015