Pengantar penulis

Menulis itu berat, biar aku saja yang melakukannya. Kalian tinggal baca aja :)

Setelah masak bakso dan oseng-oseng daging cincang seharian; saya capek, tidur pulas. Hampir lupa, meneruskan cerita di pesantren kemarin, karena masih ada sambungannya.

Dunia pesantren, selain mengajarkan ilmu, juga mengenalkan pada: "mangan enak, turu kepenak". Gimana coba kalau enggak makan enak? apapun jajanan yang ada--baik dari sambangan orang tua santri atau ketika santri habis balik dari rumah--pasti dilahap habis. Lha wong air kulah (baca: jeding) aja di minum, apalagi jajanan. Hehehe. Tapi faktanya alhamdulillah ya sehat-sehat saja, minum air mentah. Sampai sekarang pun teman-teman saya banyak yang hidup. Itu dulu minumnya air mentah loh. Jangan sangka. hehe

Nah, di pesantren ada sebuah qa'idah yang menarik: "Man Ja'a Bila IN Fahuwa Mardudun". Utawi kang aran makna 'IN' tegese inggih punika 'inuk-inuk'. Sebagian matan lain mengatakan "Man Ja'a Bila Jajanin Fahuwa Raddun". Kaidah itu pasti berlaku di seluruh pondok pesantren manapun. Barang siapa yang habis pulang dari rumah, kalau tidak bawa jajan, maka, chek out-lah dari pondok!

Kaidah ini sangat keras sekali diterapakan. Tapi ya nggak keras-keras amat sih.hehe. Biasanya ini berlaku pada santri baru, yang santri senior, kadang nggak bawa, gengsi. Tapi hal itu tidak berlaku pada saya. Alhamdulillah, ketika habis pulang dari rumah, saya usahain bawa itu jajan. Walaupun roti gudal (baca: biskuit roma), itu selemah-lemahnya iman.

Ada cerita menarik ihwal jajan ini. Di kamar saya, ketika ada santri yang disambangi, ayah-ibu-neneknya, atau saudara yang lain, tidak jarang ikut masuk kamar. Nah, dikeluarkanlah jajanan itu. "Monggo kang, disambi."tawar wali santri. (hampir seluruh pandangan mata santri tertuju pada tas kresek, dan memang, rata-rata rasa jaimnya kumat kalau masih ada wali santri). "Monggo kang,"ujar wali santri lagi. Masih aja santri pada manggut-manggut, malu-malu kucing.(Kalian tahu sendirilah body language santri kayak gimana).

Nah, setelah wali santri dan saudaranya keluar dari kamar--tiga langkah dari daun pintu kamar--kemudian, terjadilah tragedi besar. "Gruduk-gruduk-gruduk". Tangan saling rebutan. Yang asalnya makanan itu utuh berbentuk makanan, kemudian berhamburan, tercecer di lantai. Hahaha. Asem, jadi kelingan zaman semono.

Cerita soal makanan yang lain, apabila ada salah satu santri yang menyimpan jajanan itu berhari-hari di lemari, bisa dipastikan, dia akan dikucilkan oleh kawan-kawannya. Bahkan, kalau ada santri yang agak ndableg, pasti lemarinya dijebol. Hahaha. Ya, kehidupan pesantren memang indah yang disininya.

***

Di pondok saya, Ma'had al-Ulum asy-Syar'iyyah Yanbu'ul Qur'an, sudah menjadi langganan dimintai tolong oleh warga masyarakat ngadla'i shalat--apabila ada saudaranya yang meninggal dunia, tetapi mempunyai qadla'an shalat menahun. Sehingga, bapak, KH. M. Arifin Fanani, melalui para santri, sehabis shalat fardlu, kemudian shalat lagi, diniatkan ngadla'i sholat yang ditinggalkan almarhum selama hidup. Biasanya karena sakit, bukan karena memang mbangkang tidak mau shalat.

Maka, keluarga yang paham tentang masalah ibadah, pasti sadar diri. Walaupun sebagian ulama' fikih ada yang tidak mewajibkan. Tapi, alasan kiai saya; "Apakah tega membiarkan saudaranya yang punya hutang soal sholat?". Ya, guru saya ini memang dikenal sebagai ulama' yang mempunyai sifat hati-hati masalah ibadah. Beliau merujuk Mbah Turaichan Adjhuri. Seperti ayah saya, mengidolakan Mbah Tur. Apabila 'A' ya bilang 'A'. Bukan keras, tapi keukeh dalam pendiriannya. Soal hukum, bilang haram, ya haram.

Kembali ke cerita qodlo'an tadi. Nah, ketika ngadla'i shalat itu rampung--terkadang seminggu atau lebih--tergantung dari jumlah bilangan shalat yang ditinggalkan; selama setahun, dua tahun, atau tiga tahun? dan sudah menjadi tradisi Jawa, kalau ada orang yang sudah minta tolong, masak tidak balas budi? Biasanya, para santri ini mendapatkan jajan berupa sate dan es susu buah dari masyarakat yang sudah dibantu tadi. Inilah momentum yang ditunggu-tunggu. Terutama bagi dia yang tidak pernah makan sate.hehehe. Waduh, tamak nih.. smile emotikon

Begitu juga ketika dia tidur. Tidurnya santri siapa bilang tidak kepenak (nyenyak). Walaupun beralaskan lantai. walaupun berbantalkan tangan. Walaupun sambil maknani kitab. Walaupun sambil menunggu antrian di kamar mandi. Walaupun ketika musyawarah sambil tekluk-tekluk; tetaplah nikmat. Karena kecapean, seharian mengikuti kegiatan pondok, itu belum lagi yang di sekolah.

Dulu ketika saya jadi pengurus, kebetulan dapat jatah ngebangunin santri di waktu subuh. Masih aja terdapat santri yang ndagel. Ketika dibangunin, dia ambil sarung, bukan langsung ke kamar mandi, tapi sembari kukur-kukur dulu (yang merasa santri, pasti nyengir-nyengir). Setelah saya atau pengurus lainnya keluar dari kamar, kemudian dia tidur lagi. Ada juga yang sudah bangun, gayanya sih ke kamar mandi. tetapi kenyataannya tidak, dia pindah tidur, di ruang dapur, nyenyak di atas beras.

Kalau sudah begitu, jatah saya untuk nyateti (mencatat). Karena setiap tidak mengikuti shalat jama'ah atau telat jama'ah, sekali, kena denda seribu. Wah, tidak terasa sudah maghrib. Jama'ah dulu. Qomat-qomat. Awas ada keamanan berkeliaran!


Jogja, 27-10-2015



Leave a Reply