Pengantar penulis

Menulis itu berat, biar aku saja yang melakukannya. Kalian tinggal baca aja :)

KAGETAN

Menjadi bangsa kagetan adalah sebuah peristiwa yang, kalau dalam bahasa anak sekarang: 'kurang piknik, dolane kurang adoh', 'mulihe kurang mbengi'. Ketika menemukan lukisan foto mbah Hasyim yang tidak pakek jenggot saja kemudian dipermasalahkan. Kemudian diblow up secara besar-besaran. Apa manfaatnya? Kalau saya yang nglukis, dan pengen saya kayak gitu, apa salah?

Zaman orde baru sudah tumbang, seiring waktu, zaman berubah, tibalah presiden terpilih, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di dalam kepemimpinannya, banyak orang yang terkaget-kaget. Orde baru yang cenderung protokoler, istana presiden yang angker, dan semua orang harus 'sendiko dawuh' apapun kebijakannya; siapa yang berani kritik, libas!

Kemudian berubah drastis di zaman Gus Dur ini. Istana terbuka, siapapun bisa masuk ke dalam tanpa harus membuat perjanjian. Mau sarungan, sandal jepit, silahkan saja. Pintu kran demokrasi dibuka seluas-luasnya. Yang dulunya tertutup rapi, lalu beralih, apa saja--baik media, aliran, ormas, kelompok--berhak ada dan bersuara, tanpa umpet-umpetan. Nggak harus saling curiga.

Warung kopi dan angkringan sampai saat ini ramai hingga larut malam itu, karena demokrasi. Di sana, anda bisa ngobrolin apa saja, bersinggungan dengan kelompok manapun yang kamu suka. Tinggal pilih. Sehingga anda tidak harus menjadi orang yang kagetan.

Kagetan itu dulu juga pernah saya alami ketika pasca lulus dari sekolah/pesantren. Kemudian saya masuk ke ruang belantara universitas. Menemukan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah saya lihat. Gaya hidup, golongan, cara berfikir, dan lain-lain. Boro-boro ngeboncengin cewek bro, mau salaman aja takut.. hehe. Jangan tanya ya, terus kalau sekarang gimana? mau tahu jawabannya? itulah alasan mengapa sampai sekarang; gue jomblo. (Pencitraan banget) smile emotikon

Kagetan itu memang tidak menjadi soal. Yang menjadi soal adalah ketika kekagetanmu itu kemudian kamu lakukan untuk menjudge orang lain, menghakimi, melabeli, segala sesuatu itu dengan penuh kebencian dan amarah. Betul, ini juga karena demokrasi. Siapapun bisa berucap bebas tanpa tedeng aling-aling. Tetapi, apa kamu tidak sanggup, meletakkan sebuah pisau itu untuk memasak dan mengupas buah, atau hal-hal lain yang jauh lebih bermanfaat, bukan malah untuk membunuh saudara?


Jogja, 24-10-2015



Leave a Reply