Pengantar penulis

Menulis itu berat, biar aku saja yang melakukannya. Kalian tinggal baca aja :)

Halal bi halal, sebagaimana yang kita ketahui, adalah ajang pertemuan dalam rangka saling maaf memaafkan, saling sapa, dan saling mengenal antara keluarga besar dalam naungan “bani”. Acara ini adanya cuma setahun sekali, di Indonesia, di tanah Nusantara.

Ada banyak pertanyaan soal halal bi halal. Pertama, kebanyakan halal bi halal diartikan sebagai arti kultural: kosong-kosong. Dalam arti, antara si A dan si B tidak mempunyai hal-hal yang berkaitan dengan haqqul adami (lagi), kecuali hutang piutang.

Kedua, lalu bagaimana jika kata halal bi halal itu dipahami oleh orang Non-Indonesia? oleh orang Arab misalnya,  tentu akan menjadi ambigu dan terjebak dengan istilah penggunaan bahasa, kalau dipahami secara harfiah/letterlek.

Halal yang mempunyai arti ‘boleh’, bi berarti ‘dengan’, dan halal ‘boleh’, dan jika digabungkan menjadi—boleh dengan boleh. Ihwal tersebut tentu akan mengundang tanda tanya. Jangan-jangan halal bi halal disangka sebagai pertemuan antara kamu dan aku sudah halal; sah, berstatuskan suami istri, tidak jomblo lagi.

Ini yang berbahaya. Jika halal bi halal diartikan dari nama lain ijab qabul. Mungkin orang yang berpaham letterlek (tekstual an sich) beranggapan demikian karena di dalam halal bi halal itu ada kata silaturrahmi. Nah, lagi-lagi silaturrahmi itu juga soal bahasa.

Silaturrahmi kalau ditinjau dari leksikal bahasa adalah pertemuan atau menyambung tali uterus, rahim, kalau dalam bahasa jawa: telanaan. Ada juga yang mengartikan menyambung antara dua alat kelamin. Nah, bisa jadi itu tesis dari orang yang beranggapan kalau halal bi halal adalah pernikahan. Kalau belum nikah jadinya halal bi haram atau haram bi haram. Apa itu contohnya halal bi haram? Ya, kalau dalam fikih ya seperti orang yang sudah menikah tapi si istri lagi haidl, maka haram hukumnya kalau mau menyambungkan tali rahim atau berhubungan di atas ranjang.

Sedangkan haram bi haram contohnya jelas, yakni pacaran. Maka, acara seremonial dari halal bi halal itu sebenarnya adalah ajangnya para jomblo mencari yang dihalalkan atau ajang buat pembantaian para jomblo, di mana mulai dari simbah buyut sampai cucunya yang ketiga puluh menanyakan pertanyaan yang sama: kapan nikah?

Ada seorang ulama’ besar di Kudus yang mempertemukan antara istilah silaturrahmi dengan silaturrahim. Kalau silaturrahmi itu adalah logat Indonesia sedangkan yang silaturrahim itu cara pengucapan bahasa Arab, yang pada intinya adalah sama. Karena masyarakat kita memang unik dalam menyerap bahasa. Contoh lain adalah muhrim dan mahram. Kata muhrim biasanya diartikan sebagai orang yang masih bersaudara. Sering kali kita mendengar pengucapan kata itu, terutama ketika lebaran, di mana sewaktu bersalaman, “maaf, saya muslimah bukan muhrim antum”. Kalau dia memang konsisten, seharusnya penggunaan kata muhrim itu kurang tepat, yang benar adalah mahram (orang yang haram untuk dinikahi). Sedangkan muhrim adalah orang yang sedang menunaikan ibadah ihram (rangkaian dari haji).

Seperti kasus lain adalah tentang makna atau arti idul fitri yang sering kali diartikan “kembali suci”. Padahal idul fitri adalah hari raya makan-makan, karena satu bulan penuh umat Islam menunaikan ibadah puasa, sehingga haram hukumnya jika orang berpuasa di hari raya idul fitri.

Kembali ke silaturrahmi. Kata tersebut justru nusantarais banget, karena kebanyakan diantara kita lebih memilih menggunakan redaksi silaturrahmi dibanding dengan silaturrahim. Begitu juga dengan idul fitri, muhrim, dan halal bi halal. Lalu  kemudian, salahkah orang yang menggunakan penyerapan dari bahasa asing (Arab, dan lain-lain) yang dipahami oleh pribumi demikian?





Leave a Reply