Halal bi halal,
sebagaimana yang kita ketahui, adalah ajang pertemuan dalam rangka saling maaf
memaafkan, saling sapa, dan saling mengenal antara keluarga besar dalam naungan
“bani”. Acara ini adanya cuma setahun sekali, di Indonesia, di tanah Nusantara.
Ada banyak pertanyaan soal
halal bi halal. Pertama, kebanyakan halal bi halal diartikan sebagai arti kultural:
kosong-kosong. Dalam arti, antara si A dan si B tidak mempunyai hal-hal yang
berkaitan dengan haqqul adami (lagi), kecuali hutang piutang.
Kedua, lalu bagaimana jika
kata halal bi halal itu dipahami oleh orang Non-Indonesia? oleh orang Arab
misalnya, tentu akan menjadi ambigu dan
terjebak dengan istilah penggunaan bahasa, kalau dipahami secara
harfiah/letterlek.
Halal yang mempunyai arti
‘boleh’, bi berarti ‘dengan’, dan halal ‘boleh’, dan jika digabungkan
menjadi—boleh dengan boleh. Ihwal tersebut tentu akan mengundang tanda tanya.
Jangan-jangan halal bi halal disangka sebagai pertemuan antara kamu dan aku
sudah halal; sah, berstatuskan suami istri, tidak jomblo lagi.
Ini yang berbahaya. Jika
halal bi halal diartikan dari nama lain ijab qabul. Mungkin orang yang berpaham
letterlek (tekstual an sich) beranggapan demikian karena di dalam halal bi
halal itu ada kata silaturrahmi. Nah, lagi-lagi silaturrahmi itu juga soal
bahasa.
Silaturrahmi kalau
ditinjau dari leksikal bahasa adalah pertemuan atau menyambung tali uterus,
rahim, kalau dalam bahasa jawa: telanaan. Ada juga yang mengartikan menyambung
antara dua alat kelamin. Nah, bisa jadi itu tesis dari orang yang beranggapan
kalau halal bi halal adalah pernikahan. Kalau belum nikah jadinya halal bi
haram atau haram bi haram. Apa itu contohnya halal bi haram? Ya, kalau dalam
fikih ya seperti orang yang sudah menikah tapi si istri lagi haidl, maka haram
hukumnya kalau mau menyambungkan tali rahim atau berhubungan di atas ranjang.
Sedangkan haram bi haram
contohnya jelas, yakni pacaran. Maka, acara seremonial dari halal bi halal itu
sebenarnya adalah ajangnya para jomblo mencari yang dihalalkan atau ajang buat
pembantaian para jomblo, di mana mulai dari simbah buyut sampai cucunya yang
ketiga puluh menanyakan pertanyaan yang sama: kapan nikah?
Ada seorang ulama’ besar
di Kudus yang mempertemukan antara istilah silaturrahmi dengan silaturrahim.
Kalau silaturrahmi itu adalah logat Indonesia sedangkan yang silaturrahim itu
cara pengucapan bahasa Arab, yang pada intinya adalah sama. Karena masyarakat
kita memang unik dalam menyerap bahasa. Contoh lain adalah muhrim dan mahram.
Kata muhrim biasanya diartikan sebagai orang yang masih bersaudara. Sering kali
kita mendengar pengucapan kata itu, terutama ketika lebaran, di mana sewaktu
bersalaman, “maaf, saya muslimah bukan muhrim antum”. Kalau dia memang
konsisten, seharusnya penggunaan kata muhrim itu kurang tepat, yang benar
adalah mahram (orang yang haram untuk dinikahi). Sedangkan muhrim adalah orang
yang sedang menunaikan ibadah ihram (rangkaian dari haji).
Seperti kasus lain adalah
tentang makna atau arti idul fitri yang sering kali diartikan “kembali suci”.
Padahal idul fitri adalah hari raya makan-makan, karena satu bulan penuh umat
Islam menunaikan ibadah puasa, sehingga haram hukumnya jika orang berpuasa di
hari raya idul fitri.
Kembali ke silaturrahmi.
Kata tersebut justru nusantarais banget, karena kebanyakan diantara kita lebih
memilih menggunakan redaksi silaturrahmi dibanding dengan silaturrahim. Begitu
juga dengan idul fitri, muhrim, dan halal bi halal. Lalu kemudian, salahkah orang yang menggunakan
penyerapan dari bahasa asing (Arab, dan lain-lain) yang dipahami oleh pribumi
demikian?