Sewaktu di pesantren dulu, saya pernah mengaji kitab
al-Mawa’izh al-‘Ushuriyyah, atau yang biasa disebut dengan kitab ‘Ushuriyyah. Kitab
tersebut berisikan 40 hadis nabi yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Abu Bakar
Al-‘Usfuri. ‘Usfuriyyah artinya burung
pipit atau burung gereja. Kalau era sekarang, ‘ushfuriyyah mungkin bisa
diterjemahkan menjadi: twitter. Anda tahu, kan, twitter? Ya! Itu media jejaring
sosial yang berlogo burung, seperti yang jamak kita tahu. Dengan kata lain,
Kitab ‘Ushfuriyyah bisa diterjemahkan menjadi Kitab Twitter. Ini sekedar
bercanda. Tapi saya rasa ada benarnya.
Minat dan kekhusyu’an para santri sangat tinggi ketika
pengajian ini berlangsung. Yang biasanya sore itu bermain sepak bola dan pergi
ke tenda-tenda warung kopi sebelah pondok, namun untuk hari tertentu, niat
tersebut diurungkan demi mendengarkan sajian menarik dari kitab ini.
Memang, kitab itu unik. Setiap hadis dibabarkan dengan
menyertakan hikayat dan kisah nyata, sehingga para santri seperti diberikan
dongeng sebelum tidur. Di sisi lain, kiai yang membacakannya pun lihai dalam
mempreteli kitab berbahasa Arab tersebut dengan terjemahan Jawa-nya yang khas.
Sehingga para santri serasa tak berjarak lagi dengan bahasa Arab.
***
Kitab tersebut berisikan paparan tentang akhlak atau
pribadi seorang muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Telah diceritakan
suatu ketika sahabat yang sekaligus keponakan dan menantu Nabi Muhammad SAW,
Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW, mau menjalankan ibadah shalat jamaah ke
masjid. Di tengah perjalanan, beliau berbarengan dengan orang tua yang telah
lebih dulu sepersekian menit di depannya, yang ketika berjalan, jalannya sangat
lambat. Meskipun berkeinginan untuk mengejar waktu agar tidak ketinggalan
sholat berjama’ah, akan tetapi Sayyidina Ali tetap sabar berjalan di belakang
orang tua tersebut. Ia tidak mau mendahului.
Nah, ketika hampir mendekati masjid, ternyata orang tua
tersebut berbelok arah. Ia ternyata bukan hendak ke masjid, tetapi malah ke
tempat lain. Usut punya usut ternyata orang tua tersebut adalah seorang
nasrani. Akan tetapi Sayyidina Ali tidak menyesal. Ia yang notabene hendak ke
masjid untuk mengejar shalat jama’ah demi mendapatkan nilai-nilai kesalehan
sebagai muslim, tetapi ia masih bisa tetap bersabar dengan tidak mendahului
orang tua yang sedang berjalan di depannya. Dari sini, terlihat begitu
santunnya akhlak Sayyidina Ali kepada seseorang. Ia tidak memperdulikan status
agama maupun keyakinan orang tersebut.
Bila kita cermati kondisi saat ini, tak jarang orang yang
pergi ke masjid ‘merasa’ dirinya sudah suci, jauh dari dosa. Bahkan, pekikan
“Allahhu Akbarnya” sering digunakan untuk melukai dan mencederai orang lain.
Padahal, ketika seseorang pergi ke masjid, seharusnya ia menyadari bahwa
dirinya adalah pribadi yang kotor, penuh dosa. Dengan berangkat ke masjid, ia
berharap dosa dan kotorannya itu diampuni oleh Allah SWT.
Di dalam kitab tersebut, Sayyidina Ali telah mencontohkan
akhlak atau pribadi seorang Muslim yang benar-benar tahu kadar keislamannya.
Islam yang diamalkan oleh Sayyidina Ali penuh kedamaian, keselamatan dan penghormatan
kepada orang lain. Bukan Islam yang beringas dan suka mencederai orang lain.
***
Kehadiran agama di bumi ini pada hakikatnya diperuntukkan
untuk manusia. Bukan untuk Tuhan. Dengan kata lain, apakah Tuhan mengharapkan
persembahan umat manusia di muka bumi ini? Bagaimana kalau misal di muka bumi
ini seluruh umat manusia tidak menyembah Tuhan, lalu, apakah Kemahaagungan
Tuhan berkurang? Tentu tidak.
Jadi, pada dasarnya agama diciptakan oleh Tuhan tak lain
adalah untuk manusia. Agama ada untuk manusia. Keberagamaan dan berbagai macam
agama yang ada merupakan sunnatullah dari Tuhan. Perbedaan agama tidak bisa
ditolak. Begitu juga cara pandang seseorang dalam memaknai agamanya
masing-masing. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dalam hal ini, saya terkadang merasa kurang nyaman
manakala banyak di antara umat beragama begitu getol memerangi orang lain, baik
sesama agama maupun lain agama. Hanya karena beberapa golongan manusia beragama
dianggap sesat, terkadang beberapa golongan manusia lain tega melukai dan
merendahkan kemanusiaan mereka yang dianggap sesat tersebut, agama kerap selalu
dipersalahkan dan dijadikan sebagai sasaran.
Bila kita sadar, bukankah kemanusiaan itu sendiri
merupakan cerminan dari sifat-sifat ketuhanan?. Dalam arti, apabila kita saling
menghargai dan memuliakan manusia, bukankah kita juga memuliakan penciptanya?
Pun sebaliknya, apabila ada seseorang yang menistakan dan merendahkan manusia,
ia sama dengan menistakan Tuhan sebagai sang pencipta.
Pendek kata, agama hadir tak lain sebagai upaya agar
manusia tahu kemanusiaannya. Tidak perlu menjadi penghakim kesesatan orang
lain. Kesalehan itu dinilai tidak hanya dari kerajinan ibadah, tetapi juga dari
perilaku penjagaan hubungan persaudaraan di alam semesta (memayu hayuning
bawono). Pergi naik haji berkali-kali akan percuma bia dalam kehidupan
sehari-hari, seorang muslim mengabaikan fakir miskin yang kelaparan di
sekitarnya. Sebagaimana shalat tahajud tiap malam akan menjadi sia-sia bila
perilaku korupsi hingga saat ini masih merajalela.
Di akhir ttulisan ini, saya ingin mengutip sebuah hadis
yang saya temukan di dalam kitab ‘Usfuriyyah tersebut,. “Ar-rahimu yarhamuhumur
rahman, irhamuu man fil ardhi, yarhamkum man fissama’i”. Artinya: orang-orang
yang penuh kasih sayang, akan disayangi oleh Allah yang Maha Penyayang.
Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya Dzat yang ada di langit akan
menyayangimu. Wallahhu a’lam bimanihtada.
Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Jumat Masjid Jendral
Sudirman