Kali ini, saya ingin berbagi inspirasi dari mengikuti
acara Wedangin (Wedangan Inspirasi) yang diadakan oleh penerbit Bentang
Pustaka, semalam, bersama dalang jancuk, Sujiwo Tedjo dan penikmat kajian sufi,
Candra Malik.
Saya menulis berdasarkan apa yang saya ingat saja. Kalau
meniru gaya Candra Malik, biarlah jemari-jemariku sendiri—yang sudah menemani
sekian lama ini—untuk mengurai apa yang diinginkannya.
Tema yang disinggung semalam adalah tentang menulis. Ya,
terutama menulis tentang ‘ketidaktahuan’. Berapa banyak di dunia ini yang tidak
kita ketahui? Dalam hal terkecil saja misalnya, siapakah diri Anda sebenarnya?
Apakah kamu manusia? manusia yang bagaimana? Manusia yang setengah manusia
ataukah baru berproses menjadi manusia? Demikian contoh kecil dari
ketidaktahuan itu.
Nah, justru dengan ketidaktahuan kita, dan kita mencoba
terus untuk menggalinya, maka akan kita temukan sebuah rangkaian kata,
rangkaian kalimat. Sebagaimana kisah Rahvayana yang bisa menemukan sisi
romantismenya kepada Sinta karena ketidaktahuannya. Maka, ditulislah sebuah
surat cinta untuk gadis yang dikaguminya itu, Sinta.
Dengan begitu, menulis merupakan sebuah ikhtiar seseorang
untuk menemukan siapakah jati dirinya, siapakah dia sebenarnya. Apapun itu yang
kamu tidak ketahui, maka tulislah! Demikian pesan dari Mbah Tedjo dan Gus Can.
Sebab, ketidaktahuan kita sehari-hari apabila bisa
dimanaj dengan baik, yakni dengan cara menulis, maka akan mampu menghasilkan
karya yang dahsyat. Seorang Sudjiwotedjo ataupun Candra Malik, saya kira dia
mengawali ketidaktahuan nya itu dengan baik. Tentu tidak langsung ‘jadi’.
Tetapi dia sudah melewati step-step atau tahapan yang bisa menjadikan dia
sekarang ini. Tentunya, dengan melewati proses yang panjang nan terjal. Seperti
kisah yang disampaikan oleh mbah Tedjo sendiri bagaimana ketika beberapa
naskahnya dikembalikan oleh redaktur harian Kompas. Namun, bukan berarti karya
tersebut tidak laik jual, tetapi, momentumnya saja yang kurang tepat, menurut
saya.
Wanita dan Cinta
Yang diharapkan oleh wanita sebenarnya bukan hanya harta
atau ketampanan sosok pasangannya, akan tetapi, keabadian. Nah, keabadian ini
yang banyak dilupakan oleh banyak orang. Ya, keabadian itulah yang muncul di
dalam jiwa Rahvayana dengan cara menuliskan surat cinta kepada Sinta (wanita
idamannya).
Seperti kita ketika menuliskan sebuah catatan atau puisi
untuk seorang wanita yang kita cintai, tulis saja nama dia dibawahnya, “to:
markonah” misalnya, dan suatu saat nanti kamu perlihatkan tulisan itu kepada
dia. “Saya yakin, dia pasti akan klepek-klepek”. Demikian saran mbah Tedjo.
Wanita memang sangat suka dengan puji-pujian yang
berbunga-bunga, namun apabila hal tersebut hanya kau lontarkan begitu saja,
pujian itu hanya akan menjadi angin lalu. Berbeda dengan menulis. Maka akan
mengabadi. Selamanya. ‘Abadan ‘abada>.
Menulis itu ibarat orang naik sepeda, tidak usah belibet
dengan aturan. Diterjang saja. Apa yang ada diotakmu, tulis saja. Seperti orang
ketika naik sepeda, dia tidak usah memakai aturan-aturan, bagaimana nanti kalau
belok kiri, harus direm, atau bagaimana nanti kalau jatuh, dan lain sebagainya.
Kalau menurut saya sendiri menulis itu memang sebuah
ritual umat manusia yang wajib dikerjakan setelah kewajiban menjalankan ibadah
shalat. Sebagaimana di dalam ayat Qur’aniyyah-nya Tuhan yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad pada wahyu pertama (surat al-‘alaq 1-5). Yakni setelah nabi Saw
di suruh membaca (iqra’), selanjutnya, redaksi ayatnya adalah dengan menyatakan
pena (qalam), manusia diperintahkan untuk menulis sebuah ketidaktahuan
(alladzi> ‘allama bi al-qalam).
Menulis juga tidak butuh guru, sebagaimana seorang murid
kepada mursyidnya. Tidak butuh bimbingan. Karena menulis hanya butuh keberanian
dan melawan rasa takut. Ketika kamu menulis untuk media massa misalnya, kamu
harus berani bertarung melawan puluhan atau mungkin ratusan penulis-penulis lain.
Tentunya, dalam hal ini kamu sedang bertarung gagasan, adu ide.
Sebab itu, jadikanlah menulis itu semacam ritual,
sebagaimana kamu dalam menjalankan ibadah shalat. Shalat adalah ibadah yang
transenden pengabdian seorang hamba kepada Tuhan, nah, implikasi dari shalat
itu sebenarnya adalah menulis, karena ketika kamu sedang mengerjakan shalat
pasti akan banyak ide-ide yang muncul. Saya yakin ketika Anda sedang
menjalankan ibadah shalat, seratus persen banyak tidak mengingat Tuhan, tetapi
memikirkan hal-hal lain. Sebab itu, menulis adalah sebagai wujud rasa syukur
kita kepada Tuhan yang sudah memberikan gagasan atau wahyu, disaat shalat.
Yang terakhir, jangan lupa. Apapun yang kamu tulis, harus
diingat, resapilah dengan ‘roso‘ atau
‘cinta’. Karena suatu hal yang kamu kerjakan apabila tidak kamu sertai dengan
roso atau cinta, maka hanya akan menjadi sebatas tulisan yang nir makna.
Walaupun demikian, hal itu masih jauh lebih baik daripada tidak menulis sama
sekali. Terimakasih Mbah Tedjo dan Gus Can atas inspirasi nya. Salam hangat
dari saya.
Jogjakarta, 18/5/2015