Islam masuk ke Indonesia disekitar abad 13 M yang telah dibawa oleh
pedagang dan gujarat dari India, Arab, Persia, dan lain-lain. Banyak versi
mengenai hal ini. Nah, semenjak itu pula, ajaran Islam beserta kitab sucinya,
al-Qur’an, mulai diajarkan. Berkembang, meluas.
Mengingat, Islam hadir sudah satu paket dengan kitab suci al-Qur’an, pun
juga hadits Nabi Saw. Maka, kaum agamawan yang datang dari berbagai negara pada
waktu itu—istilah jawanya mereka melakukan babad alas—juga melakukan gerakan
islamisasi. Sehingga menyebarlah ruh Qur’ani kepada masyarakat Indonesia secara
luas, dari sabang sampai merauke. Step by step.
Jamak kita tahu, dari banyaknya keragaman budaya dan etnis di nusantara
ini, maka, sistem pengajaran, baik model tafsir dan cara baca al-Qur’an, yang terjadi
di berbagai daerah sebagaimana yang pernah penulis jumpai, bermacam-macam
bacaannya. Orang Banyumas sangat berbeda dengan orang Sunda dalam hal bacaan,
contoh kecilnya ketika melafadzkan huruf ‘ain. Di sisi lain, produk penafsiran
oleh ulama’ setempat, telah mempunyai corak dan cara pendekatan tersendiri
ketika menyampaikan isi dari al-Qur’an. Hal ini menandakan bahwa kitab suci
al-Qur’an yang notabene datang dari bangsa Arab, bisa melebur ke berbagai
wilayah (lokus-tempus) yang berbeda. Bisa diterima oleh siapapun.
Jika kita membaca buku Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003),
karya Islah Gusmian, kita akan menemukan berbagai macam model penafsiran
terhadap al-Qur’an. Mulai dari zaman klasik hingga era modern, bahkan mungkin
post modern seperti sekarang. Maka, hemat penulis, sumbangsih terhadap kitab suci al-Qur’an begitu besar
terhadap khazanah keilmuwan, khsusunya dibidang tafsir.
Studi tafsir (al-Qur’an) telah banyak menginspirasi masyarakat Indonesia.
Nyatanya, tidak hanya produk tafsir saja yang muncul di dalam penulisan sebuah
buku. Tetapi buku-buku yang bernuansa pop, lebih-lebih yang mengerucut lagi ke
tema agama, tak jarang sang penulis mendapatkan inspirasinya itu dari
al-Qur’an.
Inilah yang menjadikan al-Qur’an semakin menarik untuk terus dikaji,
ditafsirkan ulang oleh siapapun. Jika tidak, maka kitab suci yang sudah turun
pada 14 abad silam itu akan berjejer dimuseum dengan penuh debu. Ini merupakan
PR kita bersama. Lebih-lebih kepada sarjana atau akademisi yang membidangi
kajian penafsiran (hermeneutika).
Sumbangan Terbesar Al-Qur’an
Membincang al-Qur’an dan bangsa Indonesia. Dalam hal ini penulis ingin
mengungkapkan, setidaknya ada tiga hal utama mengenai sumbangan besar yang
telah diberikan oleh al-Qur’an untuk masa depan bangsa Indonesia. Bahasa lain
orang pesantren adalah; “barokah”. Ya, Barokatul Qur’an. Yang pertama, dengan
diajarkannya al-Qur’an di bumi nusantara, telah melahirkan munculnya pondok
pesantren atau ma’had. Ma’had atau pondok pesantren ini khusus mengajarkan
kepada siswa atau santri untuk menekuni kajian al-Qur’an. Baik bacaan, hafalan,
maupun penafsiran. Contoh kongkritnya, pesantren Darul Qur’an yang kini
dikembangkan oleh ustadz Yusuf Manshur. Telah mempunyai banyak jebolan santri
yang mahir dalam membaca dan menghafalkan al-Qur’an (huffadz).
Hal ini mengindikasikan bahwa semangat untuk menjaga al-Qur’an (kalamullah)
oleh umat Islam kian menggelembung. Lebih menariknya, bilamana ada mahasiswa
atau lembaga survei yang kemudian melakukan penelitian dengan cara mensensus
(mendata) ada berapa ribu jumlah huffadz di Indonesia. Fenomena ini menjadikan
al-Qur’an memang benar-benar dijaga oleh Allah Swt, akan kemurnian dan
otentisitasnya.
Yang kedua, al-Qur’an menuntut seseorang untuk menjadi mufassir. Sehingga
banyak bermunculan penafsir al-Qur’an dari berbagai daerah. Mufasir lokal.
Apapun itu, usahanya patut kita hargai dan perlu kita teliti lagi. Mengingat
dewasa ini banyak penafsiran yang terkadang malah membuat umat berpecah belah.
Memunculkan aroma kebringasan dalam penafsiran, yang katanya merujuk dari kitab
suci al-Qur’an. Perbedaan itu pun harus kita sikapi dengan kedewasaan.
Maka sangat wajar kalau al-Qur’an itu shalilh likulli zaman wa makan. Yang
mana tidak hanya sekedar dibaca, tetapi juga diamalkan, dan tafsiri. Siapapun,
boleh untuk menjamah al-Qur’an. Inilah yang menjadikan al-Qur’an rahmat untuk
semesata Alam. Tidak hanya orang Islam yang bisa membaca atau fasih bahasa Arab
saja yang boleh menyentuh al-Qur’an. Akan tetapi para outsider dari kalangan
Non Muslim, dalam hal ini orientalis Barat misalnya, juga boleh melakukan hal
serupa. Menafsirkan Qur’an.
Yang ketiga, menstimulus lahirnya laboratorium sarjana dibidang tafsir.
Sudah jelas, munculnya program studi Tafsir Hadits atau yang sekarang diganti
dengan Studi Ilmu Tafsir, menandakan kalau permintaan masyarakat kepada
generasi mufassir al-Qur’an kian urgen dibutuhkan. Karena, perguruan tinggi lah
yang sampai sekarang dianggap mampu menjawab kegalauan umat. Yakni dengan
penelitian atau risetnya, dan penemuan-penemuannya. Apalagi menghadapi realitas
zaman yang terus mendapatkan tantangan dari modernisasi. Berubah-ubah.
Tak pelak lagi kalau kemudian pengembangan wacana terhadap studi ‘ulum
al-Qur’an/’ulum al-Tafsir kian diminiati. Fakta ini diperkuat dengan adanya
data tiap tahun dari bidang akademik, yang mana calon mahasiswa lebih memilih
jurusan Tafsir Hadits/Studi Ilmu Tafsir, dibanding dengan bidang yang lain,
pada Fakultas Ushuluddin. Oleh sebab itu, mahasiswa yang tengah menekuni pada
jurusan ini harus bisa memaksimalkan sebaik mungkin. Biar tidak menjadi sarjana
tafsir yang gagap ketika dihadapkan dengan umat.
Pada akhirnya, ketiga hal utama itulah yang hemat penulis menunjukkan
pengaruh besar sumbangsih al-Qur’an untuk masa depan bangsa Indonesia. Walaupun
al-Qur’an diturunkan secara faktual dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda,
yang mempunyai latar belakang bangsa Arab—di mana hal itu sangat jauh sekali
dengan apa yang terjadi di Indonesia, baik ditilik dari segi sosio kulurtal
masyarakat setempat—maka tak syak kalau kemudian al-Qur’an merupakan mukjizat
Nabi Saw., yang bisa dinikmati hingga kini. Oleh siapapun, tak kenal sekat
agama, ras, suku, dan status sosial seseorang. Karena dibawa Nabi Saw., yang
rahmatan lil’alamien. Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ’Alamien…
20 February 2014 | 10:08