Pengantar penulis

Menulis itu berat, biar aku saja yang melakukannya. Kalian tinggal baca aja :)

28 Februari, adalah hari dimana aku dilahirkan di bumi. Setelah menjalani masa-masa terberat dan proses yang panjang di alam ruh (azali). Berdasarkan akte kelahiran, aku dilahirkan 22 tahun yang lalu. Dan, di 2014 nanti, usiaku akan bertambah satu digit dibelakang; menjadi 23 tahun.

Di hari ulang tahunku, biasanya banyak ucapan selamat atas hari dimana ketika aku dihidupkan di alam raya ini. Mulai dari pesan (inbox) di hp, media sosial, maupun face to face, secara langsung mengucapkan “selamat” atas waktu aku lahir. Yang alhamdulillah—pada waktu itu, terlahir normal tanpa operasi cesar—tidak seperti adekku yang bontot, Abdurrahman Al-Aulawi, yang lahir dengan terpaksa harus di cesar.

Dia lahir di tanggal 24 Desember tahun 2001. Sekarang usianya 12 tahun. Aku pun mengucapkan selamat ulang tahun atas kelahirannya kemarin. Aku juga mendo’akan dia agar selalu sehat, menjadi anak yang taat terhadap perintah syari’at agama dan juga orang tua pastinya. Dia memang anak yang paling kecil dikeluarga kami. Aku mendo’akan demikian karena biasanya anak terlahir paling bontot itu ‘agak manja’, suka minta, kalau tidak dituruti sama nyokap, andalannya adalah satu; nangis, merengek-rengek..hehehe.

Wajar saja, karena dia masih kecil. Masih belum dewasa. Orang yang belum dewasa memang begitu, belum begitu tahu kondisi orang tuanya, yang penting, apa yang dia mau, harus dituruti. Kalau tidak, pasti mengancam ke orang tua. Semisal, “laaah.. aku angger ora ditukokke sepeda polygon moh sekolah Arab”. Hehehe. (hanya contoh). Padahal dia sebenarnya sudah punya sepeda Wimcycle keluaran terbaru. Wajar saja, karena dia masih kecil. Aku pun tak jarang menasehatinya. Yakni dengan cara yang baik. Tidak lantas aku maki-maki dia. Kasihan, anak kecil, belum tahu apa-apa. Jangan dimaki-maki.

Namun, yang terkadang saya sesalkan adalah ketika permintaannya tidak dikabulkan orang tua, kemudian merusak perabotan rumah, entah itu membuang sandalnya sendiri, atau merusak sepedanya, dengan dalih agar nanti diberikan yang baru. Hehehe. Otak anak kecil itu memang licin juga ketika nafsu atau kemauannya itu tidak dituruti. (hampir sama kayak orang beragama di negeri ini).

Nah, dalam situasi ini, kalau kemudian Ayah saya kok tiba-tiba berbalik keras kepadanya. Maka, dia pasti akan lebih main ngancam. “aku pe minggat soko omah kene”. (ini sekedar contoh saja).hehehe. Maka, ibu pun langsung turun tangan. Saya selalu salut dengan sifat Ibu (wanita), tak tega dengan anaknya, jiwa kasih sayang kepada anak begitu besar. Pasti ada saja jalan untuk menenangkan bocah kecil itu. Selalu mengusahakan agar bagaimana caranya untuk mendapatkan uang demi membeli sepeda. Entah dengan cara hutang, atau menggadaikan kalung emasnya, dan lain-lain. Yang penting dengan jalur halal.

Memang benar, sifat rahmah (kasih sayang) dan cinta seorang ibu (baca: orang tua), selalu mengalahkan segalanya. Tidak peduli tingkahnya dalam menggadaikan kalung emas, misalnya, lalu dibodoh-bodohkan orang, atau “diunen-unen-i”. Biasanya, sifat orang itu begitu. Bila tidak setuju, terus mencemooh. Ngunen-nguneni. “Mbok yo nduk nduk.. koyo ngono kok dituruti. Hehehe (contoh saja).

Yah, apapun mulut orang bicara, ibu membiarkan, yang penting demi anak. Tampaknya ibu sedang mengilhami sifat Tuhan, yang kasih sayang kepada makhluknya. Walaupun makhluknya sendiri sering melanggar perintahnya, tetap saja diberi rezki, tetap saja diberi sesuatu yang diminta oleh hambanya.

Kembali dihari ulang tahunku, biasanya, selain buah ucapan “selamat”, tak jarang orang terdekat ngasih hadiah (spesial) kepadaku. Ada yang berupa makanan, kaleng tabungan, buku, lukisan, dompet, jam tangan, dan lain-lain. Semuanya masih aku simpan rapi, kecuali yang tidak aku simpan, karena hilang sewaktu di perjalanan..hehehe.

Semenjak aku kecil, dikeluargaku tidak ada perayaan sama sekali, laiknya orang jaman sekarang yang dengan potong kue, tiup lilin, dan lain sebagainya. Dulu, sewaktu masih kecil, ketika mendapatkan undangan ulang tahun, senangnya minta ampyun, karena pasti nanti akan mendapatkan jajan dan hiburan dari mas badut.

Tetapi seumur-umur, di hari (perayaan) ulang tahunku sendiri, tidak pernah dirayakan. Cukup dengan banca’an, yang itu pun bukan dirayakan dengan hingar bingar atau mendatangkan tetangga sekitar, ke rumah. Cukup Ibu membuat sesuatu makanan dan kemudian dikasihkanlah kepada sanak saudara atau tetangga terdekat. Itulah kebiasaan yang terjadi pada keluarga kami.

Aku pun ‘mengucapkan terimakasih’ kepada saudara dan teman-teman yang sudah sedianya mengucapkan ‘selamat’ atas kelahiranku. Padahal aku tidak tahu, apa benar aku dilahirkan pada tanggal 28 Februari, akan tetapi berdasarkan akte dan keyakinanku atas perkataan ibu, beliau mengatakan aku dilahirkan pada tanggal itu, dan aku pun percaya saja. Meyakininya.

Kepercayaan dan keyakinan tidak bisa mengubah segalanya. Aku manut saja. Kalaupun toh saya ‘tidak’ dilahirkan pada tanggal itu, tapi saya akan memperingati tanggal itu sebagai hari kelahiran(ku). Yakni bisa dengan cara mentraktir teman, atau dengan jalan ritual; berpuasa. Hal ini sebagaimana yang diajarkan oleh Rasul Saw. yang setiap hari senin, beliau menjalankan puasa. Karena menghormati hari kelahirannya.

Di hari aku dilahirkan, aku berucap penuh syukur, dengan ucapan terimakasih kepada orang tua ku (terutama Ibu) yang sudah berkorban, berjuang selama 9 bulan dan akhirnya dilahirkanlah sosok mungil yang kemudian diberi nama Muhammad Autad An Nasher. Nama itu bukan pemberian orang tuaku, tetapi kata bapak itu nama yang ngasih tokoh kharismatik dari Kudus. Karena memang ayahku adalah asli orang Kudus.

Di samping saya mengucapkan terimakasih kepada teman, sahabat, saudara yang telah memberikan ucapan “selamat ulang tahun” kepadaku itu, aku pun tidak lantas menyalahkan orang yang tidak mengucapkan selamat atas hari dimana aku dilahirkan. Karena sah-sah saja. Tidak kewajiban. Toh itu hanya peringatan. Tetapi apapun itu, dialah sahabatku, temanku yang selalu mengisi hari-hariku.

Terkadang, bukan ucapan selamat yang dilontarkan darinya, malah meminta banca’an, makan-makan. “ayo makan-makan tad’.. katanya.

Di tanggal kelahiranku juga, aku pun pernah berkolaborasi dengan sahabatku, Mukhammad Zulfa (teman di FUPK Semarang), untuk merayakan hari special itu. Secara kebetulan, hari lahir kita adalah sama; 28 Februari. Cuma tahunnya yang berbeda. Kita pun saling memberikan ucapan selamat atas anugrah, rahmat dari Tuhan yang Maha Kasih. Tuhan yang tak membeda-bedakan suku, ras, agama, karena semua itu ciptaannya.

Tuhan yang lebih menilai seseorang bukan dari paras cantik atau tampannya, akan tetapi menilai pada kualitas ibadah (ketaqwaan) hambanya. Walaupun dia ganteng, tetapi suka mencederai orang lain, berarti melanggar UUD Tuhan. Makanya, Nabi dilahirkan ke bumi tugasnya adalah untuk membenahi moralitas. Innama buistu liutammima makarimal akhlak. Akhlak atau khuluq itu kaitannya dengan penyakit bathin (yang tidak terlihat).

Hal yang samar atau tidak terlihat, itu lebih membahayakan. Orang dengki, lalu suka marah-marah, itu imbasnya ke orang lain. Efeknya bisa meluas. Tetapi kalau yang sakit itu pada dhohirnya, contohnya sakit pusing, atau sakit perut. Orang lain tidak ikut merasakannya. Jadi penyakit bathin lebih berbahaya. Demikianlah tugas Nabi di bumi. Membenahi akhlak, moralitas dan membawa rahmat untuk ‘semua’. Bukan golongan tertentu saja. Rahmatan lil’alamien. Bukan lil muslimien.

Dalam hal kelahiranku di bumi ini, berarti Tuhan optimis menjadikan ku sebagai khalifah fil ardh (kalau mengikuti bahasa al-Qur’an). Khalifah di bumi tugasnya adalah membuat kedamaian dan bukan kebringasan (intoleran).


Dalam mengakhiri tulisan yang sederhana ini, aku ingin mengucap syukur kepada Tuhan. Yang dengan kasih sayangnya selalu memberikan kenikmatan-kenikmatan yang tiada tara. Terimakasih Tuhan, atas kepercayaannya yang telah diberikan kepadaku. Semoga bisa memberi manfaat ke yang lain. Amien.



Leave a Reply