Pengantar penulis

Menulis itu berat, biar aku saja yang melakukannya. Kalian tinggal baca aja :)


Kurang lebih ada tiga alasan seseorang mau nyantri, hidup di pesantren. Pertama, bisa jadi di rumah dia nakal, terus oleh orang tuanya ditaruh di pesantren. Agar kelak menjadi anak yang baik. Kedua, karena dia memang benar-benar ingin mendalami ilmu agama secara lebih--ya, mungkin dia anaknya kiai/tokoh masyarakat di desanya--sehingga diharapkan nanti bisa menjadi penerus sang ayah. Ketiga, bisa jadi dia ikut-ikutan, entah karena ada tetangganya yang mondok, atau kakak/saudara sepupunya yang sudah duluan bertempat tinggal di pesantren. Namun yang jelas, tujuan dari ketiga alasan tersebut mempunyai muara yang sama; mencari ilmu.

Dulu, oleh guru saya di sekolah, beliau berpesan; seingat saya sih kalau tidak salah pas ngaji kitab Ta'limul Muta'allim. Jadi pesan beliau begini: "anak-anakku kabeh, nalikane sira lungo belajar, luru ilmu, ojo lali niat ditoto, sing pertama yaiku, supaya entuk ridhone Gusti Allah, sing kaping loro yaiku niat ngurip-ngurip agama Islam, terus sing kaping telune diniati ngilangake kebodohan." Hal-hal yang seperti ini, di sekolah madrasah manapun, saya kira semua menerapkannya. Saya tidak tahu bagaimana di sekolah-sekolah umum, seperti SMP.SMA, dll.

Sebelum dan sesudah belajar pun ada ritual do'anya. "Ya Fattahhu Yaa 'Alim-Iftah Lanaa Baaba Fadhlikal 'Adzim." (doa pembuka). "Subhanarabbika Rabbil 'Izzati" (do'a penutup). Dan hal-hal seperti ini hampir tidak pernah saya temukan sewaktu di bangku kuliah. Terkadang, pas pertama kali masuk di dunia kampus, saya merindukan hal-hal yang begitu; doa. Kelihatannya sih sederhana, sepele, tapi penting.

Di kalangan pesantren, do'a memang menjadi andalan, senjata utama. Tidak hanya seusai mengerjakan shalat an sich, tetapi di dalam segala hal. Mulai bangun tidur, sampai tidur lagi, diajarkan do'a. Dalam analisis Toshihiko Izutshu--seorang orientalis asal Jepang--itulah yang dinamakan relasi Tuhan dan manusia dalam bentuk komunikasi verbal. Yakni dari manusia ke tuhan. Lebih lanjut bisa baca bukunya; God And Man In The Koran.

Dari do'a ini kemudian memunculkan hal-hal yang irasional. Contohnya, sewaktu saya nyantren dulu, para santri sebelum ujian (terutama pas UAN), biasanya manakiban dulu, ziarah, minta do'a ke para kiai/sesepuh nanti dikasih air, lalu suruh minum, dan, terpenting adalah, dulu istilahnya "ngisiake polpen/pencil". Jadi, polpen/pencilnya dikumpulin jadi satu, terus diisikan ke kiai yang ampuh. Walaupun memang terkadang menjadi sindiran oleh sebagian teman-teman saya, "terus polpene iso mbunderi dewe ngono?". hehehe. jaman semono, Bahkan, yang lebih mistis lagi adalah di ruangan ujian itu disebar tanah dari kuburan, sambil diwirid, supaya bapak penjaga ujian ngantuk. Hayo, kae kelakoane sopo ngono iku?heuheuheu

Do'a, mantra, wirid, ataupun lainnya yang berupa pengharapan dari hamba ke Tuhan merupakan sugesti. Anda yang tidak bertuhan sekalipun (katakanlah atheis), pada hakikatnya akan mengakui keberadaan-Nya, mengakui ada kekuatan besar diluar diri kita, dengan fakta bahwa selalu ada pengharapan-pengharapan, selalu ada do'a-do'a di dalam hati kecil kita. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Bahkan, Tuhan sendiri pun berdo'a kepada hambanya, yakni dengan bersholawat kepada Nabi Saw.

Walaupun demikian, tidak semua do'a, harapan, keinginan yang kita minta selalu diijabahi dan dikabulkan oleh-Nya. Karena itu, tidak semua do'a itu baik untuk kita, dan tidak semua permintaan itu menjadikan diri kita lebih baik (seperti gambaran di film drama religi yang diperankan oleh Aming; "Do'a yang Mengancam").

Bukankah telah banyak diantara kita yang tidak meminta tetapi diberi, dan yang terus-terusan meminta tidak kunjung ditepati? tanya kenapa?
Jogja, 6-11-2015



Leave a Reply